Akhir-akhir ini kita mendengar banyak berita "gembira“ tentang pembangunan berbagai pupuk organik di berbagai daerah di Indonesia. Pabrik pupuk organik tersebut pada umumnya merupakan hasil kerja sama antara BUMN produsen pupuk dan mitra usahanya di daerah. Secara teknis BUMN menyediakan teknologi dan formulasi produk sedangkan mitra lokal bertindak sebagai operator. Sebagai contoh pendirian pabrik pupuk organik hasil kerjasama PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) dengan CV Hidayat sebuah perusaahan produsen pupuk lokal di lombok timur.
Untuk diketahui bahwa salah satu yang menjadi kendala produksi pupuk kompos adalah tingginya HPP (harga pokok produksi) jika di produksi dalam jumlah besar. Pos biaya ini terutama pada biaya transortasi bahan baku ke tempat pengolahan. Selain itu, untuk produksi kompos normal, umumnya memerlukan waktu tinggal (proses pengomposan) dalam waktu yang lama setidaknya satu sampai tiga bulan. Hal ini menyebabkan biaya produksi menjadi besar terutama jika proses produksi dilakukan secara terpusat. Dengan demikian, harga jualnya menjadi tinggi dan pupuk organik yang notabene memiliki dampak tidak langsung (perlu jangka waktu lama) sehingga kalah berkompetisi dengan pupuk in-organik yang mendapatkan subsidi dari pemerintah. Apalagi dosis pemakain pupuk organic juga jauh lebih besar dibandingkan dengan pupuk inorganik.
Namun demikian satu hal yang patut diperhatikan adalah, bagaimana kebijakan stimulus pemerintah dalam mempromosikan kebijakan penggunaan pupuk organik ini. Untuk dapat bersaing dengan pupuk Inorganik pemerintah juga melakukan subsidi. Untuk setiap kilogram pupuk organic pemerintah menetapkan harga Rp.1500,. Pupuk dijual ke petani dengan harga Rp.500,- dan sisanya Rp.1000,- diberikan kepada industri yang membuat pupuk itu. Jadi perlu dicatat bahwa pemerintah memberikan subsidi pupuk organic secara tidak langsung kepada petani, dan diberikan kepada industri penyedia pupuk organic yang notabene adalah BUMN yang memproduksi pupuk inorganic seperti PUSRI, pupuk Kaltim dan Semen Gresik.
Mayoritas pupuk organik yang saat ini dikembangkan adalah berbasis bahan baku kotoran ternak. Kotoran ternak tanpa melalui proses pengomposan di mixing dengan nutrisi tertentu dan biakan mikroorganisme untuk kemudian di granulasi dan dikemas. Jadi karena kapasitas bahan bakunya besar, maka untuk mengurangi biaya transportasi dibuatlam pablik-pabrik pengolahan pupuk organic di daerah. Alasannya sederhana, dekat dengan bahan baku, dekat dengan pasar, upah pekerja murah, lagi pula teknologinya juga sederhana. Secara operasional BUMN-pupuk menggandeng perusahaan pupuk organic local sehingga mereka cukup ongkang-ongkang kaki saja dan hanya melakukan fungsi control. Toh gak pernah ada yang melakukan uji kualitas pupuk organik, toh masyarakat tidak pernah mau tahu tentang apa yang mereka beli. Yang penting bulat-bulat bergranul seperti pupuk inorganic lainnya, mereka hanya membeli saja.
Dalam hal ini BUMN pupuk lah yang paling diuntungkan. Mereka notabene hanya mencari mitra usaha di daerah dan selanjutnya panen duit dari subsidi pemerintah. Bayangkan jika: subsidi yang Rp.1000,- tersebut diberikan secara langsung kepada petani atau kelompok tani. Dengan subsidi itu mereka memiliki dana untuk membuat pupuk sendiri sehingga ke depan semakin mandiri. Belom lagi ketika memikirkan nasib UKM produsen pupuk. Jeas-jelas mereka tidak laku lagi, selain kalah bersaing dari sisi harga mereka juga di luluh-lantakkan oleh brand mereka yang tentu kalah kinclong dengan brand-brand pabrik pupuk ternama seperti Petrokimia Gersik, Pupuk Kaltim, atau PUSRI.
Lengkaplah sudah. Pemerintah lebih memilih berpihak kepada industri besar, meminggirkan industri kecil dan membodohi petani. Pemerintah meminggirkan jauh-jauh opsi untuk memberikan dana subsidi langsung ke kelompok petani-peternak. Mengajarkan mereka cara pembuatan pupuk organik, memberdayakan mereka. Menbiarkan duit subsidi tersebut berputar di masyarakat agar ekonomi rakyat menjadi berkembang.
Yang terjadi saat ini adalah indstri besarlah yang diuntungkan, UKM penghasil pupuk organic mati karena harga mereka tidak bias bersaing. Masa bodoh dengan pembukaan lapangan kerja baru, masa bodoh dengan peningkatan kemandirian petani. Yang harus dipelihara itu adalah petani harus tetap bodoh, biar selalu bisa dibodohi. Jadi petani selalu merasa pemerintah baik karena harga pupuk organik murah.
Ini nih kebijakan Mantab---
LANJUTKAN!!!, Lanjutkan Penjajahan ini----
Kasihan engkau para petani,
Nasibmu tidak lebih baik dari si Umar Bakri !!!
http://www.sasak.org/kolom/80-m-roil-bilad/1225-ramai-ramai-bangun-pabrik-pupuk-organik-siapa-yang-diuntungkan.html
0 komentar:
Posting Komentar